Senin, 23 Juli 2007

marhaenn

Babad Anak Cucu Marhaen


Subur Tjahjono

”Saya malahan berkata bahwa di dalam tiap-tiap partai ada perbedaan-perbedaan kecil di antara golongan-golongan di dalam partai itu, bahwa di dalam tiap-tiap partai ada pihak yang sedikit lebih ’sengit’ dan ada yang sedikit lebih ’tenang’. Saya, karena hal-hal itu semua, tak jemu-jemu menganjurkan persatuan, tak jemu-jemu mendinginkan segala rasa kepanasan hati, tak jemu-jemu mencoba menghilangkan segala kesalahan paham. Saya sebagai salah satu pemimpin kaum Marhaen merasa wajib mengikhtiarkan persatuan itu, wajib berusaha memulihkan lagi organisasi kaum Marhaen itu, wajib mencoba apa yang boleh dicoba, dengan menyerahkan hasil atau tidaknya ke dalam tangan Allah”.


(Maklumat dari Bung Karno kepada Kaum Marhaen Indonesia)

Maklumat Bung Karno tahun 1930-an yang termuat dalam Bung Karno dan Partai Politik (Grasindo, 2001) dibuat untuk mempersatukan Partai Indonesia pimpinan Bung Karno dan Pendidikan Nasional Indonesia pimpinan Bung Hatta-Sjahrir.

Partai Indonesia (Partindo) dan Pendidikan Nasional Indonesia adalah hasil ”perpecahan” dari Partai Nasional Indonesia yang didirikan Bung Karno 4 Juli 1927 dengan nama Perserikatan Nasional Indonesia.

Hingga kini, 75 tahun kemudian, persatuan kaum marhaen yang dicita-citakan Bung Karno itu tak pernah terwujud. Sejarah mencatat fragmentasi partai politik kaum marhaen begitu seringnya terjadi dan kadang kala disertai dengan pertumpahan darah. Babad anak cucu marhaen adalah sejarah perpecahan.

Apa yang secara mendasar menyebabkan konsolidasi partai kaum nasionalis yang penting untuk konsolidasi demokrasi itu tak pernah berhasil?

Kalau ditelusuri sejarah asal- usul konfliknya secara ringkas, tampak bahwa faktor penyebab perpecahan atau fragmentasi partai kaum nasionalis itu bervariasi mutunya yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan eksternal yang melingkupinya.

Hal itu, misalnya, terlihat pada periode sebelum kemerdekaan, periode demokrasi terpimpin, periode Orde Baru, dan periode reformasi. Kalau pada periode awal pertikaian karena soal substansial prinsipiil, dalam perkembangan berikutnya pertikaian lebih karena soal-soal pragmatis berkaitan dengan ”kursi” kekuasaan.

Dalam periode sebelum kemerdekaan, pertikaian Partai Indonesia dan Pendidikan Nasional Indonesia atau ”PNI Baru” tahun 1930-an adalah pertikaian antara radikalisme dan moderasi, atau antara kiri dan kanan, dalam mencapai tujuan Indonesia merdeka (JD Legge, Sukarno: A Political Biography, 2003).

Menurut Legge, guru besar sejarah di Monash University, Australia, Partindo menekankan pada prinsip nonkoperasi dan aksi massa, sementara PNI Baru menekankan penyiapan pemimpin melalui pendidikan.

Pada periode 1950-1959, perpecahan terjadi antara golongan reaksioner feodalis, golongan reaksioner beraliran sosial demokrat, dan golongan revolusioner dalam menafsirkan marhaenisme Bung Karno (Bagin, PNI: Sekilas Analisa Kritik Diri, Yayasan Seni Budaya Gema Patriot, 2002). Perpecahan itu menghasilkan Partai Rakyat Nasional, Partai Indonesia Raya, dan Partai Indonesia.

Pada periode Orde Baru pertikaian terjadi karena represi rezim Orde Baru yang memaksakan fusi PNI dengan empat partai lain pada tahun 1973 dan membentuk Partai Demokrasi Indonesia. Pemaksaan fusi menghasilkan konflik internal tak berkesudahan karena intervensi pemerintah.

Puncaknya adalah pecahnya PDI Soerjadi yang propemerintah dan PDI Megawati Soekarnoputri yang prorakyat.

Konsolidasi demokrasi gagal

Namun, konsolidasi yang dilakukan Megawati dengan PDI Perjuangan—yang waktu itu dianggap mewakili kepentingan kaum marhaen atau wong cilik—juga tak berhasil. Partai ini oleh penentangnya dianggap tak demokratis dengan menerapkan kepemimpinan feodal. Kepemimpinan dinilai terlalu bersandar pada karisma Megawati.

Namun, ketidakpuasan pada model pengelolaan partai ini tidak dijawab dengan pembenahan internal, tetapi dijawab dengan fragmentasi membentuk partai baru. Dari pimpinan PDI-P juga tidak ada keinginan untuk berusaha mempersatukan faksi-faksi yang menentang itu.

Eros Djarot, yang gagal menjadi Ketua Umum PDI-P dalam Kongres I Semarang tahun 2000, akhirnya keluar dan membentuk Partai Nasional Banteng Kemerdekaan. Dimyati Hartono yang juga gagal menjadi Ketua Umum PDI-P dalam kongres itu mendirikan Partai Indonesia Tanah Air (PITA).

Isu modernisasi partai dan feodalisme kepemimpinan PDI-P itu muncul kembali dalam Kongres II PDI-P Bali, 2005. Kali ini muncul kritik atas kegagalan Megawati dan PDI-P dalam Pemilihan Umum 2004, baik pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden. Upaya-upaya modernisasi partai ditafsirkan sebagai upaya pendongkelan Megawati Soekarnoputri.

Namun, sekali lagi, perselisihan tidak diselesaikan dengan mekanisme untuk tetap mempersatukan faksi-faksi tersebut. Sebanyak 12 tokoh yang menentang Megawati itu—yang dimotori orang dekat Megawati, Laksamana Sukardi dan Roy BB Janis—akhirnya dipecat.

Walaupun dalam Anggaran Rumah Tangga PDI-P ada mekanisme pembelaan diri melalui kongres berikutnya, tampaknya ke-12 orang ini tidak sabar pula membentuk partai baru. Partai Demokrasi Pembaruan itu dideklarasikan 1 Desember 2005. Yang menarik tokoh tiga zaman Abdul Madjid bergabung dalam PDP karena menilai PDI-P tidak lagi demokratis. Tokoh berusia 88 tahun ini pernah menjadi Sekjen PNI dan Sekjen PDI.

Pelajaran dari fragmentasi partai politik kaum nasionalis ini adalah gagalnya konsolidasi institusi demokrasi yang penting, yakni partai politik, yang berarti adalah gagalnya konsolidasi demokrasi Indonesia.



Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS




          













 

Tidak ada komentar: